Analisa Hubungan Inflasi dan Pengangguran

Analisa Hubungan Inflasi dan Pengangguran

Pengertian inflasi adalah suatu proses kenaikan harga umum barang dan jasa yang terjadi secara terus menerus. Ini tidak berarti bahwa harga-harga barang dan jasa naik dengan persentase yang sama. Mungkin terjadi barang dan jasa naik secara tidak bersamaan.

Yang penting di sini adalah terdapat kenaikan harga-harga barang dan jasa secara terus menerus selama satu periode tertentu. Jadi kenaikan yang terjadi hanya sekali saja walaupun dengan persentase kenaikan yang cukup besar, bukanlah merupakan inflasi. Kenaikan harga barang dan jasa ini diukur dengan mempergunakan indeks harga.

Inflasi merupakan salah satu variabel yang sangat sentral dalam kebijakan makro ekonomi, di samping output dan pengangguran.

Secara makro, inflasi sebenarnya terjadi karena keseimbangan moneter terganggu, yaitu tidak seimbangnya antara variabel-variabel ekonomi yang mengurangi jumlah uang yang beredar dengan variabel-variabel ekonomi yang menambah jumlah uang yang beredar.

Beberapa indeks harga yang sering digunakan untuk mengukur inflasi antara lain:

  1. Indeks Biaya Hidup (Consumer Price Index),
  2. Indeks Harga Perdagangan Besar (Whole Sale Price Index),
  3. GNP Deflatoir. Untuk perhitungan indeks tersebut di Indonesia mempergunakan data kenaikan harga-harga dari 744 komoditas, di 119 pasar tradisional, dan 95 pasar modern.

Inflasi dan Pengangguran

Konsep tentang adanya hubungan antara inflasi dengan pengangguran ini masih relatif baru, kira-kira pada akhir 1950-an.

Secara teoritis hubungan ini baru pertama kali diperkenalkan AW Phillips pada 1958 (AW Phillips, “The Relation Between Unemployment and The Rate of Change of Money Wage Rates in The United Kingdom, 1861-1957”, Economica (Nov, 1958), pp. 283-300). Phillips mengadakan studi lapangan tentang hubungan antara kenaikan tingkat upah dengan pengangguran di Inggris pada 1861- 1957.

Dari studi ini dia memperoleh hasil bahwa terdapat hubungan yang negatif antara persentase kenaikan upah dengan turunnya pengangguran. Tahun-tahun di mana tingkat pengangguran rendah adalah juga tahun-tahun di mana kenaikan upah tinggi, dan sebaliknya, tahun-tahun di mana pengangguran tinggi maka tingkat kenaikan upah rendah.

Tokoh ekonom terkenal bernama Paul Samuelson dan Robert Solow, mempopulerkan hubungan negatif antara persentase kenaikan upah dengan turunnya pengangguran ini di Amerika Serikat dengan sedikit modifikasi, di mana mereka dengan studinya menjelaskan dan mempopulerkan hubungan negatif antara laju inflasi dengan tingkat pengangguran.

Dengan perkataan lain, terdapat trade off antara inflasi dengan tingkat pengangguran.

Dalam teori ekonomi makro memang terdapat perdebatan klasik tentang hubungan negatif antara inflasi dan pengangguran yang dikenal dengan kurva Phillips-nya tersebut.

Beberapa waktu yang lalu di Amerika Serikat dan banyak negara-negara OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) menunjukkan bahwa telah terjadi tingkat inflasi yang tinggi dibarengi dengan tingkat pengangguran yang tinggi.

Jadi hubungan antara inflasi dengan tingkat pengangguran tersebut bersifat positif dan tidak sesuai dengan teori Phillips, sehingga bertentangan dengan gambar dan diagram dalam kurva Phillips.

Hasil penelitian dari Amerika Serikat dan OECD tersebut membenarkan bantahan terhadap teori Phillips. Berita di televisi dan media massa pada pertengahan April 2008 yang berjudul “Zimbabwe, tingkat pengangguran 80% dan inflasi 100.000% per tahun” membenarkan secara ekstrem hasil penelitian di Amerika Serikat dan OECD tersebut.

Inflasi di Zimbabwe tersebut berarti sebesar 280% per hari (yang dikenal dengan Hyper Inflation). Jadi hampir di seluruh negara baik di Developed Countries maupun Developing Countries saat ini mengalami apa yang disebut dengan stagflasi (pengangguran disertai dengan inflasi).

Pengangguran meluas di mana-mana bersamaan dengan kesulitan mengatasi inflasi. Gejala-gejala negara maju lebih mementingkan kepentingan nasionalnya, makin menguatnya sentimen anti perdagangan bebas di beberapa negara.

Juga karena adanya fenomena investasi dalam sektor riil yang dianggap memberi hasil yang lebih rendah dibanding sektor keuangan.

Pemecahan Masalah Inflasi dan Pengangguran

Analisa hubungan antara inflasi dengan pengangguran mempunyai dimensi yang kompleks dan sophisticated, baik masalah ekonomi secara luas maupun masalah ketenagakerjaan, namun penulis menyoroti dari aspek ekonomi makronya.

Ada tiga macam cara atau kebijaksanaan yang dapat dilakukan oleh pemerintah yang berkaitan dengan ekonomi makro yaitu:

a. Monetary Policy

Kebijakan pemerintah dalam rangka kebijaksanaan moneter tersebut dimaksudkan sebagai kebijaksanaan Bank Indonesia, yang dalam hal ini dapat dilakukan melalui:

  • Meningkatkan suku bunga (Discount Policy),
  • Politik pasar terbuka (Open Market Operation),
  • Meningkatkan cash ratio (Cash ratio policy).

b. Fiskal Policy

Dengan kebijakan fiskal ini dimaksudkan sebagai kebijaksanaan pemerintah dalam bidang anggaran, melalui APBN di Indonesia. Terdapat tiga kebijaksanaan yang dapat ditempuh oleh pemerintah yaitu:

  • Penurunan pengeluaran pemerintah (Government Expenditure),
  • Menaikkan penerimaan pajak,
  • Mengadakan pinjaman pemerintah.

c. Non-monetary Policy

Kebijaksanaan non-moneter ini dapat ditempuh melalui tiga macam kebijaksanaan dalam memerangi inflasi yaitu:

  • Meningkatkan output (barang dan jasa),
  • Pengaturan upah,
  • Pengawasan harga barang dan distribusi output

 

Analisa Hubungan Inflasi dan Pengangguran
Sumber: Drs. H. Indro Warsito, MA. (Peneliti pada Puslitbangnaker, dan Dosen di Beberapa PTS)

You May Also Like

About the Author: Kanal Pengetahuan

Sekadar berbagi informasi dan pengetahuan sekitar kita secara singkat dan sederhana

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *